Bertahun-tahun dipenjara tanpa diadili dan diberangus hak-hak sipilnya, ribuan eks narapidana dan tahanan politik peristiwa kekerasan pasca 1965, terus menuntut keadilan.
Para korban yang sebagian besar berusia di atas 60 tahun itu menuntut diberi rehabilitasi atas dosa politik rezim Orde Baru yang telah merampas hak-hak mereka sebagai warga negara.
"Sulit untuk melupakan kejadian yang menimpa saya," ungkap Lestari, 79 tahun, bekas Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Kota Bojonegoro, Jawa Timur.
Gerwani adalah salah-satu organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sejauh ini dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.
"Saya kehilangan anak saya, yang saat itu berumur 4 tahun," ungkapnya kepada BBC, saat ditemui di sebuah rumah jompo yang menampung sebagian tapol 1965 di kawasan Jalan Kramat, Jakarta Pusat.
Setelah peristiwa penculikan tujuh jenderal di akhir September 1965, Lestari diminta para petinggi partainya untuk menyelamatkan diri.
Dia kemudian memilih bersembunyi di wilayah Blitar Selatan, tidak lama setelah peristiwa 1965.
Namun dia beserta para pelarian lainnya tertangkap tak lama setelah tentara melancarkan Operasi Trisula di wilayah itu.
Terpisah dari anak dan suaminya, ibu lima anak ini kemudian dihukum penjara -tanpa pernah diadili- selama 11 tahun di Kota Malang, sebelum dibebaskan tahun 1979.
Sejak saat itulah hak-haknya diberangus.
"Bahkan jatah makan saya dan teman-teman tapol dibedakan dengan napi lain," ungkapnya.
Minta rumah dikembalikan
Setelah rezim Orde Baru runtuh dan reformasi digulirkan, Lestari dan ribuan eks napol '65 mulai berani "bersuara".
Sebagian tuntutan mereka juga didengarkan, seperti pemulihan hak memilih dalam pemilu sampai penghilangan tanda 'anggota partai terlarang' di setiap KTP mereka.
Namun di mata Lestari dan para korban '65 lainnya, semua ini belumlah cukup untuk menyembuhkan luka masa lalunya.
Selain menuntut agar para pelakunya diadili, mereka juga menuntut agar negara melakukan penyelidikan terhadap kasus kekerasan tahun 1965.
Tidak semua setuju dengan penyelesaian melalui jalur hukum, yang dianggap "sulit digelar".
Maka muncullah konsep rekonsiliasi, rehabilitasi, dan kompensasi, yang dianggap sebagai jalan paling bijaksana untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan masa lalu.
Lestari, misalnya, tidak terlalu banyak berbicara soal peradilan. Namun dia berharap pemerintah dapat mengembalikan rumahnya di Kota Surabaya yang disebutnya "diambil alih oleh tentara".
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pemerintah saat ini tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebagai jawaban terhadap tuntutan para korban kasus-kasus kekerasan di masa lalu -- termasuk para korban kejadian 1965.
Draf RUU ini pada pertengahan September 2010 telah diserahkan ke Sekretariat Negara, sebelum nantinya dibahas oleh DPR.
Rancangan ini disiapkan sebagai pengganti undang-undang serupa yang empat tahun lalu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pembatalan itu menjawab pengajuan uji materi oleh Tim Advokasi Kebenaran dan Keadilan yang menuntut. pembatalan tiga pasal.
Ketiganya adalah pasal 1 angka 9 yang menyebut amnesti bagi pelaku pelanggaran ham, kemudian pasal 27 tentang kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan.
Adapun yang ketiga adalah pasal 44 yang menyebutkan peniadaan pengadilan dengan pengadilan ham adhoc bila pelanggaran telah diungkapkan dan diselesaikan Komisi.
Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia Kementrian Hukum dan ham Harkristuti Harkrisnowo menyatakan aturan baru ini merupakan koreksi atas kelemahan undang-undang sebelumnya.
"Misalnya, pasal yang menyebut rehabilitasi dapat diberikan bila permohonan amnesti dikabulkan, itu tidak kita cantumkan dalam rancangan ini," ungkap Harkristuti.
Peradilan tetap terbuka
Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Usman Hamid, yang dilibatkan sejak awal dalam pembahasan RUU yang baru, menganggap isi RUU ini lebih adil buat korban dibanding UU yang lama.
Dia menyebut RUU sekarang sebagai "tidak merugikan seperti yang dahulu".
Dia kemudian memberi contoh: "UU yang lama tidak memungkinkan perkara '65 untuk dibawa ke pengadilan. Tetapi yang sekarang membuka kemungkinan pengadilan."
Harkristuti menegaskan, walaupun RUU ini tidak mengatur tentang pengadilan, peluang digelarnya proses hukum ini masih terbuka.
Dia mengacu kepada Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan ham, yang disebutnya dapat menyelesaikan kasus ini di pengadilan ham adhoc.
Namun Harkristuti berharap persoalan masa lalu itu bisa selesai melalui rekonsiliasi.
Sikap serupa juga ditunjukkan Gayus Lumbun anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
"Nanti akan ada pengakuan pemerintah bahwa ada pelanggaran HAM atas kasus kekerasan itu. Kemudian akan diberikan kompensasi kepada korban. Jadi, tidak perlu lagi ada tuntutan dari korban, atau tidak ada lagi putusan hukuman," kata Gayus.
Masih belum diketahui secara pasti kapan RUU ini akan masuk ke DPR.
Namun dipastikan bahwa pembahasan rancangan undang-undang ini bakal menyita waktu yang panjang, seolah berlomba dengan sisa masa hidup para korban yang rata-rata di atas 70 tahun.
Itulah sebabnya, sebagian pegiat HAM usul agar Presiden menggelar rekonsiliasi politik, tanpa harus menunggu komisi terbentuk.
Lestari sendiri tidak terlalu berharap dengan RUU ini.
"Apa iya bisa terealisasi, wong penyelesaian kasus orang hilang 1998 saja belum jelas," katanya seraya tertawa.
Posted by 16.31 and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar