Share your knowledge while you can A collection of unique stories, funny, and interesting

GENETIK HIBRIDA IKAN GURAME

GENETIK HIBRIDA IKAN GURAME


ABSTRAK
J.Jatnika Abdul Warist (Di bawah Bimbingan : Ibnu Dwi Buwono dan Yuli Andriani). 2011. ANALISIS VARIASI GENETIK HIBRIDA IKAN GURAME (Osphronemus goramy. Lac.) DENGAN MENGGUNAKAN MARKER RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA).

            Penelitian mengenai variasi genetik pada ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) hasil persilangan dan dianalisa dengan menggunakan marker RAPD (Random Amplified Polimorpik DNA) dilakukan pada tanggal  11 Februari 2011 hingga 30 April 2011 di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT), Bogor. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hasil variasi genetik seperti heterozigositas, jumlah alel dalam lokus dan polimorpik lokus pada keturunan pertaman hasil hibridisasi secara resiprokal dari ikan gurame strain Bastar-Paris, Bastar-Blusafir dan Paris-Blusafir. 

Variasi genetik ikan gurame hasil persilangan telah dianalisa dengan menggunakan marker RAPD. Persilangan antara strain yaitu Bastar-Paris, Bastar-Blusafir dan Paris-Blusafir  dilakukan secara recripocal. DNA diekstraksi dari daging dan diamplifikasi dengan menggunakan primer OPA 1-20. Benih ikan gurame hasil persilangan antara Paris-Bastar mempunyai nilai heterozygositas tertinggi berdasarkan primer OPA-4 dan OPA-7 yaitu 0.2721, sedangkan heterozygositas yang terendah diamati pada benih hasil persilangan antara Blusafir-Paris (0.1116).

Kata kunci : Ikan gurame, hibrid, variasi genetik, RAPD

ABSTRACT
J.Jatnika Abdul Warist (Supervised by Ibnu Dwi Buwono and Yuli Andriani). 2011. Analysis Variation Genetic Hybrid of Giant Gouramy (Osprhronemus goramy Lac.) Using RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Marker.

The research to observe the genetic variation in giant gouramy (Osprhronemus goramy Lac.) from hybrid strain was analyzed using RAPD marker and done from  February 11th 2011 until April 26th 2011 at Freshwater Aquaculture Research Station, Bogor. Research was done to observe genetic variation such as heterozygosity, amount of alleles in locus and polymorphic locus from the first generation of reciprocally hybrid strains of giant goramy which was Bastar-Paris, Bastar-Blusafir dan Paris-Blusafir strain.

Genetic variation of giant gouramy hybrids have been observed using RAPD marker. Crossing among strain of Giant gouramy have been conducted recripocally i.e. Bastar-Paris, Bastar-Blusafir and Paris-Blusafir. Whole DNA was extracted from meat clips and amplified using primer OPA 1-20. Giant gouramy from Paris-Bastar had the highest heterozygosity value based on the primers OPA-4 and OPA-7 i.e. 0.2721, while the lowest one was observed in Blusafir-Paris (0.1116).

Key word : Giant gouramy, hybrids, genetic variation, RAPD



2.1  Ikan gurame
2.1.1        Sejarah ikan gurame
Roberts (1992) menyebutkan bahwa ikan gurame berasal dari kepulauan Sunda Besar (Jawa Barat). Penyebarannya sebagai ikan budidaya meliputi wilayah yang cukup luas hingga wilayah kepulauan Indonesia dan negara-negara sekitarnya. Di daerah Jawa, budidaya ikan gurame berada di Tasikmalaya, Ciamis, Garut (Jawa Barat), Purwokerto dan Magelang (Jawa Tengah).

2.1.2        Taksonomi ikan gurame
Sistem klasifikasi ikan gurame menurut Lacepede (1801 dalam Roberts, 1992)  adalah sebagai berikut:
Filum               : Chordata
Kelas               : Pisces
Sub Kelas        : Teleostei
Ordo                : Labrinthici
Sub Ordo        : Anabantoidei
Famili              : Anabantidae
Genus              : Osphronemus
Species            : Osphronemus gouramy ( Lacepede)


2.1.3        Morfologi dan karakteristik ikan gurame
            Selain digolongkan melalui klasifikasi, ikan gurame bisa dibedakan dari tanda-tanda bagian tubuhnya, atau lebih dikenal dengan istilah morfologi. Menurut Gilbert (1970) gurame mempunyai bentuk badan agak panjang, pipih dan tertutup sisik yang berukuran besar serta terlihat kasar dan kuat. Punggungnya tinggi dan mempunyai sirip perut dengan jari pertama sudah berubah menjadi alat peraba.
            Ikan gurame memiliki organ labirin. Labirin adalah alat pernafasan tambahan pada ikan gurame berupa lipatan-lipatan epithelium pernapasan. Alat tambahan ini merupakan turunan dari lembar insang pertama. Labirin terletak di belakang atau di atas insang. Dengan adanya alat tambahan ini, ikan gurame mampu hidup di perairan yang miskin oksigen terlarut, asalkan permukaan perairan terdapat udara bebas.
Perbedaan mencolok antara induk jantan dan induk betina adalah adanya ciri khas pada ikan jantan, yaitu: benjolan di bagian kepala (dahi), bibir bawah tebal dan memerah saat birahi dan tidak memiliki warna hitam pada ketiak sirip dada. Sedangkan induk betina tidak memiliki benjolan di bagian kepala (dahi), bibir tidak tebal dan memiliki warna hitam pada ketiak sirip dada.
Menurut Kusumawaty dan Martgrita (2003) ciri-ciri induk gurame betina dan jantan yang telah matang gonad dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Ciri-ciri Induk ikan gurame jantan dan betina matang gonad.
Ciri fisik
Induk betina
Induk jantan
Warna
Perut
Susunan sisik
Gerakan
Cenderung terang
Membulat
Membuka
Lamban
Merah dan hitam
Membentuk sudut tumpul
Normal
Lincah

2.2 Nama daerah ikan gurame
            Di daerah jawa, gurame sebagai ikan konsumsi di kenal pula dengan sebutan Gourami, Gurami, Gurame, Gurameh, Gerameh, Brami. Sedangkan di Kalimantan dan Sumatra akrab disebut Kalui, Kalua, Kala, Kalwe, Kali dadn Siauli (Lia, 2006). Dalam bahasa asing ikan gurame dikenal sebagai giant gourami (Inggris), giant gouramy (Inggris), guurami (Jepang), knurrender gurami (Jerman), dan pla raet (Thailand).
            Sebutan gurame tidak terbatas untuk spesies Osphronemus gouramy yang dijuluki Giant gourami, tetapi juga untuk beberapa jenis ikan lain dari family Anabantidae terutama yang bentuk fisiknya yang mirip gurame. Jenis ikan dari genus Helostoma (tambakan), Colisa (faskiata) dan Trichogaster (sepat) yang merupakan kerabat dekat gurame juga sering disebut dengan nama gurame (Sitanggang dan Sarwono, 2003 dalam Lia 2006).
Hingga saat ini program pemuliaan ikan air tawar di Balai Benih Ikan di Indonesia masih menggunakan program pemuliaan yang konvensional yaitu induk-induk ikan gurame dan keturunan yang dihasilkan dipilih hanya berdasarkan penanda morfologi saja. Penanda genetik belum digunakan karena informasi keanekaragaman genetik ikan gurame hingga saat ini masih sangat terbatas, sedangkan informasi tersebut sangat diperlukan terutama dalam menyeleksi ikan-ikan yang akan digunakan pada proses persilangan untuk menghasilkan ikan gurame yang lebih unggul dengan karakter yang sesuai menurut selera dan tuntutan ekonomis.

2.3  Strain ikan Gurame
Di Indonesia dikenal beberapa strain ikan gurame seperti Soang, Jepang, Paris, Bastard, Blusafir dan Porselen yang telah banyak digunakan dalam kegiatan budidaya (Suseno et al, 1983; Sudarto,1989). Sedangkan yang banyak di budidaya di daerah Parung-Bogor oleh petani sekitar adalah ikan gurame strain Bastar, Blusafir dan Paris. Varientas yang Blusafir, Paris, Bastard an Porselen merupakan varientas yang paling banyak dikembangkan di Jawa Barat (Sitanggang dan Sarwono,2003 dalam Lia, 2006).
Ikan gurame Bastar merupakan ikan gurame yang populer di daerah Bogor, bahkan ada beberapa petani menyatakan bahwa ikan ini berasal dari daerah Bogor khususnya dari kali Cibeteng. Ikan gurame Bastar berukuran besar, berwarna agak kehitam-hitaman dengan kepala agak putih, dan bersisik besar-besar sehingga para petani sekitar menyebutnya sebagai ikan gurame pedaging. Produksi telur berkisar 3000-5000 butir sekali bertelur dan bobotnya bisa mencapai 5 kg/ekor (Sudarto, 1989).
            Ikan gurame Paris berukuran lebih kecil dari pada gurame Bastar, badan berwarna hitam keabu-abuan, bersisik halus serta terdapat bintik hitam di sekujur tubuhnya. Jumlah telur mencapai 5000-6000 butir sekali bertelur dan berat maksimal mencapai 1,5 kg/ekor (Sudarto, 1989).
            Ikan gurame Blusafir memiliki tubuh yang berwarna biru keabu-abuan yang berselang-seling dengan warna yang lebih muda. Bobot tubuhnya bisa mencapai 10kg/ekor dan produksi telur dapat mencapai 5000-7000 butir sekali bertelur (Sitanggang dan Sarwono dalam Lia, 2006).

2.4  Hibridisasi
            Hibridisasi adalah perkawinan silang antara dua spesies ikan yang dekat hubungannya tetapi mempunyai sifat dan ciri yang berbeda sehingga dapat dihasilkan keturunan dengan sifat dan ciri yang diinginkan (Royce dalam Sumantadinata, 1992). Pada ikan gurame, teknik hibridisasi dapat digunakan untuk menghasilkan benih hibrida yang lebih cepat pertumbuhannya dari pada kedua induknya (hybrid vigor). Hickling (1971) menyatakan bahwa hibridisasi pada ikan dapat dilakukan antar ras (intraspesifik), antar spesies (interspesifik) atau antar genus (intergenik). Keberhasilan hibridisasi ini antara lain ditentukan oleh hubungan kekerabatan ikan. Semakin dekat hubungan kekerabatannya maka peluang keberhasilannya makin besar (Tave, 1986).
Ikan hibrid umumnya menunjukkan efek heterosis, yaitu dengan munculnya sifat unggul pada hibrid (Yatim dalam Sudita, 2003). Menurut Moav dan Wohlfarth (1968) menyatakan heterosis ialah sifat-sifat suatu keturunan dapat melebihi kedua induknya. Kebalikannya dikenal dengan inbreeding depression yaitu perkawinan antara saudara (keturunan induk yang sama) yang menghasilkan keturunan berkualitas lebih rendah dari kedua induknya.
Efek heterosis ini dapat dicapai dengan persilangan antara ras yang berbeda dalam satu spesies. Hibridisasi juga bertujuan untuk memunculkan karakter-karakter tertuanya pada keturunan berikutnya sebagai efek heterosis atau sifat unggul (Falconer, 1996). Tave (1993) menerangkan bahwa eksploitasi variasi dominan dapat dilakukan untuk memperbaiki produktifitas ikan melalui hibridisasi. Pengetahuan tentang karakter-karakter unggul induknya yang diturunkan ke generasi berikutnya dapat di observasi dengan menggunakan marker DNA.

2.5  Keanekaragaman Genetik
Keragaman genetik dinyatakan dengan heterozigositas. Heterozigositas tingkat populasi terdiri atas heterozigositas intrapopulasi dan heterozigositas interpopulasi. Menurut Nei (1987), heterozigositas intrapopulasi biasa disebut heterozigositas rata-rata, menggambarkan besarnya proporsi lokus heterozigot yang teramati dirata-ratakan terhadap semua lokus yang diuji pada suatu populasi. Sedangkan heterozigositas interpopuasi menggambarkan besarnya keragaman genetik yang disebabkan oleh perbedaan antar populasi.
Perkembangan lebih lanjut, pembenihan ikan dalam kegiatan budidaya secara terbatas dapat menurunkan keragaman genetik pada turunan berikutnya. Penurunan tingkat keragaman genetik erat kaitannya dengan menurunnya heterozigositas gen. Hal ini salah satunya karena ikan gurame tidak melakukan ruaya atau migrasi. Terjadinya penurunan keragaman genetik ditentukan oleh polimorfik lokus, heterozigot, dan jumlah allel setiap lokus (Taniguchi et. al., 1983). Pada umumnya polimorfisme ikan budidaya lebih rendah dibandingkan dengan populasi yang terdapat di alam (Ricardo & Taniguchi, 1999 dalam Arifin, 2005).
            Diantara dua individu dalam satu spesies yang sama terdapat perbedaan karena berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah genetik, umur, jenis kelamin, makanan, stadium daur hidup, bentuk tubuh, habitat, dan lain sebagainya. Secara genetik tidak ada dua individu dalam satu spesies yang sama persis. Perbedaaan bisa muncul dari dalam (genotipe) dan dari luar atau morfologinya (fenotipe). Perbedaan yang terjadi dalam satu spesies ini menyebabkan adanya keragaman dalam spesies tersebut (Salam, 1994).
            Keragaman bentuk baik morfologi maupun molekuler ini di kenal sebagai polimorfisme. Polimorfisme didapat dari ada tidaknya pita-pita DNA pada sampel-sampel yang dapat menghasilkan amplifikasi dengan primer tertentu. Polimorfisme dapat dijadikan acuan untuk menelusuri keragaman suatu organisme dan responnya terhadap proses-proses evolusi yang dialami organisme pada masa yang lalu dan memprediksi keadaan organisme pada masa yang akan datang (Solihin, 2006).
            Keragaman genetik merupakan tingkatan yang paling rendah dalam tingkatan keragaman hayati. Keragaman hayati mencakup segala aspek yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi dan jenis. Keragaman genetik suatu populasi penting karena faktor inilah yang akan mempengaruhi respon populasi tersebut terhadap seleksi baik seleksi alam maupun seleksi buatan yang dilakukan oleh manusia (Imron, 1997).
            Seleksi adalah suatu breeding program dimana suatu individu atau populasi itu sendiri, dipilih dalam usaha merubah nilai rata-rata populasi pada keturunannya yang akan datang (Nugroho, 1995). Salah satu program seleksi yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dari beberapa induk terbaik yang tidak sekerabat. Diharapkan dari hubungan semacam ini keturunan yang dihasilkan memiliki variasi genetik yang beragam walaupun tetap berasal dari induk jantan yang sama.
            Tinggi-rendahnya keragaman genetik dapat menentukan kualitas genetik dalam suatu populasi. Keragaman genetik yang rendah mengakibatkan munculnya sifat-sifat negatif antara lain menurunnya pertumbuhan, keragaman ukuran, kestabilan perkembangan organ, tingkat kelangsungan hidup, serta daya adaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Rendahnya keragaman genetik biasa dijumpai pada ikan–ikan hasil silang dalam (inbreeding), sehingga terjadi penurunan kualitas genetik (Leary et al., 1985; Imron, et al., 2000).
            Tingkat kemiripan genetik dari suatu populasi dapat digambarkan oleh jarak genetik individu-individu dalam populasi tersebut. Jarak genetik adalah derajat perbedaan gen antar spesies atau populasi yang diukur dengan metode numerik. Jumlah rata-rata perbedaan kodon atau nukleotida per gen adalah pengukur jarak genetik. Jarak genetik dapat menentukan hubungan kekerabatan antar individu maupun antar populasi (Pandin, 2000; Rina, 2001).
2.6 Penanda genetik
            Penanda genetik yang digunakan untuk menganalisis genom adalah penenda morfologi, penenda protein dan penenda DNA ( Liu, 1998 dalam Lia, 2006). Sebelum berkembangnya metode penanda DNA, penanda genetik yang lebih digunakan adalah penenda morfologi dan penanda protein. Akan tetapi, Penanda morfologi dan protein memiliki kelemahan karena cirri morfologi dan produk protein dipengaruhi oleh lingkungan sehingga analisis yang dilakukan kurang akurat.
            Keterbatasan yang berhubungan dengan penanda morfologi, fisiologi dan sitologi untuk menaksirkan keanekaragaman genetic telah diatasi dengan perkembangan penanda DNA seperti “Restriction Fragmen Length Polymorphism” (RFLP), “Random Amplified Polymorphic DNA” (RAPD), ”Amplified Fragmen Length Polymorphism” (AFLP) dan “Single Sequence Repeats” (SSR, Microsatellite) (Garcia, 2004). Teknik penanda DNA yang berbeda-beda tersebut telah digunakan sebagai penanda genetik pada banyak species tumbuhan dan hewan (Hizer et al., 2002). Karena penanda DNA mengukur keanegaragaman genetic pada tingkat DNA, maka penanda ini dapat menghitung efek seleksi, tidak terpengaruh oleh lingkungan dan tersedia dalam jumlah yang hampir tidak terbatas (Chtourou-Ghorbel et al.,2001). Chao-zhi et al. (2003) juga mengungkapkan bahwa penanda DNA merupakan alat yang menjamin untuk mengevaluasi keanekaragaman genetik di antara plasma nutfah.

2.7 Polymerase Chain Reaction (PCR)
            PCR pertama kali dipublikasikan pada tahun 1986 oleh Kary B. Mullis yang mendapatkan ide untuk membuat proses PCR pada tahun 1983. PCR merupakan suatu metode biologi molekuler yang sangat sensitif, sehingga molekul DNA yang relatif sedikit dapat diamplifikasi secara in vitro dengan menggunakan tag polimerase dan primer oligonukleotida, dan kemudian divisualisasikan sebagai pita (band) terpisah pada gel agarosa (Surzyeki, 2000 dalam Khotimah, 2003). PCR sebelum elektroforesis berperan dalam penggabungan pasangan DNA dengan bantuan primer dan enzim bakteri pada suhu tertentu (Sudarmono, 2006).
            PCR didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA dengan menggunakan dua oligonukleotida yang komplementer dengan ujung 5’ dari kedua untaian sekuen target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer (primer PCR) untuk memungkinkan DNA template dikopi oleh DNA polimerase (Surzyeki, 2000 dalam Khotimah, 2003). Menurut Karsinah (1999), primer adalah rantai DNA pendek yang terdiri atas beberapa nukleotida yang berperan sebagai pemula pada proses sintesis DNA dengan PCR. Primer yang umum dipakai terdiri atas sepuluh atau lebih susunan (oligonukleotida).
            Jenis primer yang digunakan pada teknik RAPD berkaitan dengan suhu penempelan primer dalam reaksi amplifikasi. Primer yang biasanya digunakan mengandung basa G + C  antara 60% - 70%, karena semakin banyak kandungan basa guanin dan cytosin, maka ikatan antara primer dengan DNA cetakan semakin kuat dan stabil. Basa guanin dan cytosin mempunyai 3 ikatan hidrogen, lebih banyak dari pada basa timin dan adenin yang hanya mempunyai dua ikatan hidrogen.
            Tahap pertama PCR adalah memisahkan untaian DNA  melalui pemanasan. Proses ini dinamakan denaturasi  yang dilakukan pada suhu 94˚C. Selanjutnya suhu reaksi diturunkan menjadi 50°-55˚C untuk memungkinkan terjadinya pemasangan sekuen atau penggabungan (annealing) antara primer dan DNA tempelate yang beruntai tunggal. Tahap selanjutnya adalah reaksi polimerisasi atau elongasi dilakukan oleh DNA polimerase untuk membentuk untai komplementer pada suhu 72˚C rangkaian siklus PCR (Surzyeki, 2000 dalam Khotimah, 2003). Dalam tahapan elongasi, enzim polimerase bergabung dengan nukleotida dan pemanjangan primer lengkap untuk sintesis sebuah DNA untai ganda. Reaksi ini akan berubah dari siklus ke siklus mengikuti perubahan konsentrasi DNA (Hsu et al., 1996 dalam Wahyudi, 2001).
            Bahan-bahan yang diperlukan untuk proses PCR adalah DNA sampel yang akan diamplifikasi, dNTP, primer, enzim DNA polymerase, Mgcl, buffer PCR. Pada proses PCR, DNA sampel dibutuhkan sebagai cetakan (templat) untuk pembentukan molekul DNA baru. DNA sampel diisolasi dari berbagai jaringan karena pada prinsipnya semua jaringan tubuh mengandung DNA yang sama. Turner et al. (2000) menyatakan bahwa DNA sampel harus mengandung DNA target yang akan diamplifikasi. Oleh karena itu, semua sumber DNA yang mengandung satu atau lebih daerah target secara prinsipnya dapat digunakan sebagai DNA templat pada proses PCR.
DNA dapat diambil dari darah, sperma, fosil, bakteri dan lainya (turner et al., 2000). Pada penelitian-penelitian yang terdahulu para peneliti telah berhasil mengisolasi DNA ikan dari berbagai jaringan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Almeida et al., (2003) terhadap ikan Pimelodus maculates (Pisces, Siluriformes), digunakan jaringan otot sebagai sumber DNA. Chiari dan Sodre (2001) mengisolasi DNA delapan species ikan famili Anostomidae (Pisces, Charachiformes) dari darah dan jaringan otot. Yue et al., (2002) mengambil sumber DNA dari potongan sirip ikan yang masih hidup untuk mengisolasi DNA ikan Scleropages formosus.
            Proses polimerisasi DNA target dikatalisis oleh enzim DNA polymerase. Proses PCR menggunakan suhu tinggi sehingga enzim DNA polymerase yang digunakan harus tahan terhadap suhu tinggi. Biasanya enzim DNA polimerase yang digunakan dalam proses PCR diisolasi dari bakteri “Thermophilik” Thermus aquaticus. Enzim Taq polymerase mampu bertahan pada suhu tinggi sehingga tidak akan rusak pada saat proses denaturasi yang membutuhkan suhu tinggi  hingga 94°C. Selain dari bakteri Thermus aquaticus, Enzim Taq polimerase juga dapat diperoleh dari hasil sintesis bakteri Escherichia coli hasil rekayasa (Saiki et al., 1988).
Enzim DNA polimerase memiliki keterbatasan tidak dapat memulai sintesis polinukleotida tetapi hanya dapat menambahakan nukloetida pada ujung rantai nukleotida yang telah berpasangan dengan DNA templat, Sehingga diperlukan primer agar dapat memulai reaksi polimerasi. Enzim DNA polymerase akan merangkai nukleotida yang komplemen dengan DNA templat diawali dari daerah ujung 3’ primer yaitu bagian ujung DNA yang berikatan dengan gugus hidroksil.
            Primer oligonukleotida dapat didesain sendiri atau sudah dalam bentuk kit yang dapat dibeli dari perusahaan yang memproduksi primer sintetik misalnya dari “Invitrogen”. Menurut Turner (2002), syarat primer untuk proses amplifikasi adalah mengandung basa G+C > 50%. Hal ini dikarenakan basa G tau C akan membentuk ikatan yang lebih kuat pada DNA templat sehingga primer yang sudah menempel pada tahap “annealing” tidak akan lepas ketika suhu dinaikan untuk memulai tahap polimerasi.
            dNTP yaitu bahan baku nukloetida saat polimerasi. dNTP terdiri dari dATP, dGTP, dCTP dan dTTP. Nukloetida yang dirangkai oleh enzim polimerase merupakan komplemen basa pada DNA templat. Misalnya jika nukloetida yang berada pada DNA templat adalah adenine (A), makan enzim polymerase mengikat basa timin (T), jika nukleotida DNA templat adalah guanine (G), maka enzim akan mengikatkan basa sitosin (C) (Turner etal., 2000).

2.8 Metode Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD)
            Ada beberapa metode untuk mengukur keragaman genetik di dalam atau antar populasi.  Baik secara fenotipe yaitu melalui morfometrik maupun secara genotipe dengan menggunakan metode dasar elektroforesis. Metode penelitian elektoforesis umumnya mendeteksi DNA seperti analisa sidik jari (fingerprinting) yaitu ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) atau mikrosatelit, RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), dan AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) (Sudarmono, 2006).
RAPD merupakan metode penandaan dengan menggunakan satu atau beberapa primer oligonukleotida yang acak (random) dengan jumlah pasang basa yang sedikit (8-12 pasang basa). RFLP merupakan metode penandaan dengan menggunakan enzim endonuklease untuk memotong DNA pada situs tertentu. Metode ini sangat berguna untuk menyusun peta genetik pada banyak spesies. Sedangkan AFLP Merupakan kombinasi antara metode RFLP dengan RAPD, yaitu DNA dipotong dengan beberapa fragmen DNA. Kemudian fragmen DNA tersebut diamplifikasi dengan menggunakan kombinasi primer yang berbeda (Dunham, 2004).
            Bersamaan dengan diketemukannya Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mampu menggandakan DNA secara cepat, suatu prosedur yang menggunakan sebuah primer pendek dan tunggal telah dikembangkan. Prosedur ini dikenal dengan sebutan RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan teknik ini banyak digunakan secara luas di bidang perikanan (Park and Moran, 1995 dalam Nugroho dan Maskur, 2003). Menurut Welsh and Mc Clelland (1990), Wiliams et al. (1990) dalam Abadallah (2004), dasar dari RAPD adalah PCR yang mengamplifikasi genom di daerah tertentu dengan menggunakan rangkaian primer oligonukleotida pendek, yang susunannya berubah-ubah. Metode RAPD lebih cepat dibandingkan dengan metode lainnya, karena analisis RAPD dimulai dengan rangkaian pendek yang terdiri dari 10 nukleotida yang dipilih melalui penyeleksian (Fairbanks et al., 1999).
            Teknik RAPD digunakan untuk mendeteksi jarak genetik pada hewan (Cushwa and Medrano, 1996 dalam Abadallah, 2004). Namun untuk mendeteksi adanya pita DNA, harus mengikat DNA ikatan tunggal dengan sejumlah primer (umumnya 20 basa nukleotida pasang basa sampel) (Sudarmono, 2006).
            Pola larik hasil RAPD menunjukan penanda yang dominan. Penanda RAPD dapat menunjukan polimorfisme pada pola larik amplifikasi dari individu yang berbeda secara genetic sebagai penanda genetik mendelian. Huang et al., (2002) berhasil menemukan pola segresi hokum mendelian (1:1 atau 3:1) pada tanaman Asimina triloba dengan menghitung jumlah pola amplifikasi yang sama menggunakan metode “Chi square”. Beberapa peneliti, menganalisis data tanpa menghitungkan adanya pola segresi mendel karena mengasumsikan bahwa larik yang ukurannya sama adalah homolog dan hasil penelitiannya tetap dapat membedakan genotip yang diuji.  
            Pada pengujian pewarisan gen hasil persilangan antara channel catfish dengan blue catfish (Ictalurus furcatus), pita yang diamplifikasi memperlihatkan polimorfisme secara keseluruhan, baik dari garis keturunan ibu (maternal) maupun dari garis keturunan ayah (paternal) dan jumlah seluruh pita RAPD yang terlihat dihasilkan dari kedua induknya. Melalui teknik RAPD, dapat dilihat riwayat hasil persilangan F1 secara keseluruhan. Sifat dominan alami maupun dominan pola Mendel, keduanya dapat diwariskan pada keturunan F1 (Liu et al., 1998 dalam Dunham, 2004).

2.8 Ekstraksi DNA
            Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan materi genetik pada hampir semua organisme. DNA adalah suatu polimer yang mengandung nukleotida yang tersusun atas gula pentosa, basa nitrogen dan phosfat. DNA memiliki bentuk helik ganda dari dua rantai anti paralel yang mempunyai sekuen nukleotida yang komplementer. Lokasi basa saling berhadapan pada kedua rantai, adenin (A) berpasangan dengan timin (T), sementara guanin (G) berpasangan dengan citosin (C). Seluruh rangkaian DNA dalam inti sel membentuk kromosom dan sebagian lainnya adalah gen. Gen adalah bagian DNA yang berperan mengkode genetik untuk menghasilkan suatu fenotipe (Fujaya, 2005).
            Langkah awal untuk menganalisis DNA adalah memecah genom DNA menjadi fagmen-fragmen spesifik yang berukuran kecil. Secara alami DNA adalah molekul primer yang keberadaannya selalu terkait dengan RNA dan protein. Sedangkan dalam menganalisis DNA, yang diperlukan adalah DNA dalam bentuk murni (Stine, 1973 dalam Hilwa, 2004).
            Proses ekstraksi DNA diawali dengan mengisolasi genom DNA dari sumber sel.  Lewin (1994), menyatakan bahwa langkah awal dalam analisis DNA adalah memecahkan genom DNA menjadi fragmen-fragmen spesifik yang berukuran lebih kecil.  Ekstraksi DNA dilakukan untuk memisahkan genom DNA dari molekul-molekul lain di dalam satu jaringan yang dilarutkan.  Sebelum asam nukleat dipotong atau dimanipulasi, terlebih dahulu harus diisolasi dan dimurnikan (Boffey, 1986 dalam Arifin, 2005).
            Proses ekstraksi menurut Stine (1973) dalam Hilwa (2004), bahwa ekstraksi dan pemurnian DNA berlangsung dalam lima tahapan kegiatan yaitu penghancuran sel, penghilangan RNA, pengendapan protein, pengendapan DNA, dan hidrasi DNA. Ekstraksi gen dilakukan dengan memisahkan genom DNA dari molekul-molekul lain yang ada di dalam satu jaringan. Secara alami keberadaan molekul DNA selalu terkait dengan RNA dan protein, sehingga keduanya tidak dapat bertindak sebagai kontaminan dalam proses purifikasi.

2.9 Elektroforesis
Elektroforesis adalah teknik pemisahan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam sebuah medan listrik. Medan listrik dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, kemudian dialiri arus listrik dari suatu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif.  Kecepatan gerak molekul tersebut tergantung pada nisbah muatan terhadap massanya serta tergantung pula pada bentuk molekulnya.
  Pergerakan terjadi pada substrat padat yang ditembus oleh larutan cair yang diberi buffer. pH buffer, kekuatan medan listrik, panjangnya waktu yang diperlukan untuk menerapkan medan, dan keadaan substrat padat dapat divariasi, dan bila kombinasi keadaan yang sesuai telah ditentukan, molekul-molekul yang berbeda sedikit saja dalam muatan nettonya dapat dipisahkan satu sama lain (Goodenough, 1988).
            Prinsip dasar elektroforesis yaitu, bahwa setiap genom individu (enzim atau protein dan DNA) mempunyai berat yang berbeda-beda sehingga kecepatan geraknya pada media gel juga berbeda-beda dan hal ini hanya dapat dilihat melalui pewarnaan (trouble shooting).
            Menurut Nei (1987), pendugaan heterogenitas genetik melalui polimorfisme protein yang dihasilkan dengan elektroforesis adalah pendugaan minimum. Pendugaan akan mendekati keadaan populasi alaminya bila menggunakan jumlah sampel yang besar atau menganalisis banyak lokus.




share this article to: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg
Posted by Fajar Ferdian, Published at 12.47 and have 0 comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar