Sebenarnya manusia ingin dirinya tercukupi dari kebutuhan sehari-hari, tetapi mangrove juga ingin seperti itu. Banyak sekarang hutan mangrove yang sudah habis padahal pemanfaatannya luar biasa jika benar diketahui. sebagai contoh bisa digunakan sebagai kayu bakar, mengeluarkan oksigen terbanyak daripada pohon lainnya, sebagai tempat bernaung plankton dan ikan-ikan kecil, masih banyak lagi. kita tidak bisa membayangkan jika semua mangrove dikawasan ini habis. Maka dampaknya bagi manusia akan sangat berbahaya, sebagai contoh jika terjadi gelombang besar di laut tidak akan menimbulkan banyak kerugian di dekat pantai tersebut karena terlindung dari mangrove. Gambar disamping sebagai salah satu contoh mangrove di Desa Ciasem Kecamatan Blanakan, Subang-Jawa Barat.
Pemanfaatan sumberdaya wilayah
pesisir dapat memberikan kesejahteraan yang bersifat berkelanjutan apabila
hubungan antara sistem dalam wilayah sumberdaya pesisir tersebut dapat dijaga
dengan baik. Sumberdaya wilayah pesisir mempunyai himpunan antara komponen
hayati dan non-hayati dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya
sekaligus berinteraksi menjadi kesatuan sistem. Untuk menjamin kelestarian
sumberdaya hayati tersebut perlu memperhatikan hubungan ekologis yang berlangsung
antar komponen sumberdaya penyusun sistem tersebut.
Sumberdaya wilayah pesisir salah
satunya adalah ekosistem mangrove yang mempunyai banyak nilai dan fungsi
penting bagi ekosistem wilayah pesisir lainnya dimana kelangsungan hidup
manusia banyak bergantung pada ekosistem pesisir lainnya tersebut. Kawasan
mangrove secara nyata menjadi penyedia bahan makanan dan energi bagi kehidupan
di pantai tropis termasuk ikan-ikan komersil yang dibutuhkan manusia. Menurut
Nontji (2002) beberapa produk perikanan di Indonesia mempunyai nilai ekonomi
penting dan mempunyai hubungan erat dengan ekosistem mangrove. Lokasi potensi
produksi perikanan udang, bandeng, dan belanak di Indonesia mempunyai kaitan
erat dengan lokasi serta luasan mangrove di dekatnya. Oleh sebab itu ekosistem
mangrove menjadi bagian penting dalam sumberdaya perikanan.
Pengalihan lahan mangrove
mengalami peningkatan secara terus-menerus setiap tahunnya. Kabupaten Subang
termasuk Blanakan mengalami pertambahan konversi mangrove menjadi pertambakan sebesar
rata-rata 33,02 % setiap tahunnya pada kurun waktu 1988 sampai tahun 1995 (Fahrudin,
1996). Pembangunan industri tambak di daerah pesisir jawa mengalami kegagalan
produksi pada masa setelah lima tahun beroperasi, atau produktivitas selalu
menurun sedangkan kebutuhan investasi ataupun biaya operasional semakin tinggi (Khalil,
1999). Keadaan demikian berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas
dan kuantitas nilai dan fungsi penting ekosistem mangrove sekaligus mengancam keberadaan ekosistem mangrove di
kecamatan Blanakan.
Pengelolaan
mangrove dengan bermacam-macam tujuan dan prioritas harus ditentukan dengan
baik. Penentuan pengelolaan tentunya harus tetap memperhatikan lingkungan disekitarnya
dan berkelanjutan. Penilaian ekosistem mangrove dengan menggunakan konsep
valuasi ekonomi (economic valuation)
dapat memberikan gambaran nilai barang dan jasa yang dihasilkan dari ekosistem
mangrove yang disebut nilai penggunaan langsung, yaitu kayu, ikan, serta manfaat
lainnya sehingga dapat dijadikan perbandingan dalam pengalihan lahan mangrove.
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat
berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat
pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh
spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau
(Santoso, 2000). Ekosistem mangrove juga merupakan suatu kawasan ekosistem yang
rumit karena terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di
luarnya (Nybakken, 1988). Oleh karena itu,ekosistem mangrove dapat dikatakan
sebagai interface ecosystem yang
menghubungkan daratan dengan lautan.
Ekosistem mangrove merupakan
ekosistem yang unik dan berfungsi ganda dalam lingkungan hidup. Hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh lautan dan daratan, sehingga terjadi interaksi
kompleks antara sifat fisika, kimia, dan sifat biologi. Ekosistem mangrove
tergolong salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui dan terdapat hampir
di seluruh perairan Indonesia yang berpantai landai. Meskipun ekosistem
mangrove adalah sumberdaya yang dapat diperbarui, tetapi sangat mudah rusak
jika terjadi perubahan pada salah satu unsur pembentuknya, sehingga dikenal
sebagai fragile ecosystem.
Kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis
pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh diantara batas air tertinggi saat air
pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan air laut (Mac
Nae, 1968). Dijelaskan oleh Bengen (2000), bahwa mangrove merupakan komunitas
vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove
yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh
pada daerah intertidal yang cukup mendapatkan genangan air laut secara berskala
dan aliran air tawar, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut
yang kuat.
Ekosistem Mangrove dan Produktivitas Perikanan
Pembuatan satu hektar tambak ikan pada ekosistem mangrove
alam akan menghasilkan ikan dan udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan
hilangnya setiap satu hektar akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang
di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Pengurangan mangrove terutama di
areal green belt tentunya akan menurunkan produktivitas perikanan tangkapan.
Ekosistem mangrove berperan penting untuk produktifitas perikanan tangkap
karena penghasil bahan organik yang merupakan
mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang
gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi
partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan
pemakan detritus (cacing, udang-udang kecil, rebon). Selanjutnya hewan pemakan
detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat
berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang
lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai
jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia (gambar 3).
Ekosistem Mangrove dan Produktivitas Perairan
Menurut Bengen (2000), ekosistem
mangrove berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya. Komponen dasar dari rantai
makanan di ekosistem mangrove bukan tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi
serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dan
lain sebagainya). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan
fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses
fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan
oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya.
Pada dasarnya serasah yang dihasilkan
oleh mangrove antara lain mengandung N dan P yang tinggi dan akan terlarut
dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Oleh
karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah dengan N
dan P yang terdapat di dalam air, produktifitas perairan dan jumlah individu
fitoplankton, zooplankton, dan makrozoobenthos (Welch and Lindell, 1980).
Hasil penelitian dari Mahmudi,dkk.
(2008) menunjukan hasil dari reboisasi dari jenis Rhizophora mucronata seluas 57,1 ha berpotensi menghasilkan
produksi serasah daun sebesar 1119,16 kg/hari. Hasil produksi tersebut menyediakan
detritus sebesar 1047,42 kg/hari dan
dengan laju dekomposisi sebesar 17,89% serta kandungan N serasah sebesar 0,74%,
P serasah 0,003%, dan C serasah 36,73% menyumbangkan nutrien ke dalam perairan
sebesar 1,39 kg N per hari, 0,06 kg P per hari dan 68,83 kg C per hari. Nutrien
yang terlepas tersebut merupakan potensi energi yang tersedia bagi pertumbuhan
fitoplankton yang merupakan sumber makanan bagi anak-anak ikan yang
memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai feeding
ground.
Sumber nutrien di ekosistem
mangrove salah satunya berasal dari sedimen yang terperangkap oleh tumbuhan
mangrove tersebut. Sedimen yang berasal dari darat dan mengandung banyak nutrien
dibawa oleh aliran sungai ke laut, dan oleh arus pasang surut sedimen tersebut
dibawa kembali ke pantai dan ditangkap kemudian diendapkan di dasar mangrove
(Kamaruzzaman, et al. 2001).
Mangrove mempunyai produktifitas bahan organik yang
sangat tinggi, walaupun hanya kurang lebih 10% dari produksinya dapat langsung
dimakan oleh herbivora. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan
sebagai detrius atau bahan organik mati seperti daun-daun mangrove yang gugur
sepanjang tahun, dan melalui aktifitas mikroba dekomposer dan hewan-hewan
pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum and
Heald, 1975). Selanjutnya, detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting
dari rantai makanan yang terdapat di ekosistem mangrove dan estuaria.
Partikel-partikel organik tersebut menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur,
dan mikro-organisme lainnya yang merupakan sumber makanan utama bagi organisme
omnivora yaitu udang, kepiting, dan sejumlah ikan. Daya dukung ekologi dari
ekosistem hutan mangrove tersebut tercipta melalui mekanisme transfer energi
dan rantai makanan (foof chain).
Posted by 17.03 and have
0
comments
, Published at
Tidak ada komentar:
Posting Komentar